INDEPENDENSI DAN AKUNTABILITAS HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA
Oleh:
Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, S.H.I, M.Si.
Artikel Selengkapnya dapat dilihat DISINI
1. Pendahuluan
Yang mulia Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, Dr. Harifin A. Tumpa, SH., MH. dalam peresmian pengadilan tindak pidana korupsi 14 provinsi yang dipusatkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 28 April 2011 menyatakan bahwa saat ini independensi hakim sedang mendapatkan ujian berat. Hal ini dikarenakan dengan adanya pembentukan opini yang berkembang di masyarakat yang seakan-akan ingin `menakut-nakuti` hakim dalam mengambil keputusan.[1]
Pernyataan ujian berat independensi hakim bukan tanpa alasan. Salah satu contoh termutakhir yang menjadi perhatian publik adalah putusan majelis hakim tentang kasus Antasari Azhar yang sekarang sedang diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) karena adanya indikasi pelanggaran kode etik hakim (khususnya profesionalisme) dimana indikasi pelanggaran profesionalisme hanya didasarkan pada ijtihad putusan hakim.
Jika hakim bisa diperiksa KY dan diadili oleh publik hanya karena ijtihad putusan yang dijatuhkan (lebih-lebih putusan belum berkekuatan hukum tetap dan masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan), bukan karena perilaku hakim, tentu ini akan menimbulkan rasa takut bagi hakim dalam mengambil putusan. Jika hakim takut mengambil putusan karena takut diperiksa KY dan diadili publik, lebih-lebih jika hakim merasa tertekan dan harus mengamini intervensi opini publik dan ekstra yudisial, maka itu merupakan ujian berat independensi hakim.
[1] Lihat dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/04/28/lkcp5i-harifin-tumpa-curhat-kasus-antasari-ujian-berat-independensi-hakim.